Jumat, Februari 17, 2017

Terminologi Kafir

loading...

Terminologi Kafir

Terminologi Kafir - Sebenarnya ini bukan penyakit yang baru nyebar pada tubuh Ibu Pertiwi, ini merupakan penyakit kronis yang menggerogoti tubuh indah Ibu Pertiwi. Penyakit tersebut ialah fundamentalis kolot yang dalam kehidupannya lebih mudah mengatakan” kafir” daripada sebuah relatifitas karena tidak semua ahlul kitab itu kafir. Bukan tanpa bukti, mayoritas tersebut mengutip Qur’an bahkan Hadist untuk memuluskan dan mendapatkan legitimasi dari instansi tertentu. Realita sosial ini dapat kita jumpai di media sosial yang saat ini kronisnya mulai menjijikkan.

Menyitir artikel Islamidotco tulisan Kholid Syerazy tentang apakah non-muslim itu kafir? Dapat kita jumpai bahwa tidak semua Ahlul Kitab itu kafir, diharapkan kita lebih bijaksana lagi dalam menggunakan idiom kafir. Mengeneralkan non-muslim sebagai kafir yang harus dimusuhi, itu bukan hanya tidak adil dan tidak sejalan dengan Qur’an, tetapi juga merusak prinsip negara-kebangsaan yang tidak mendiskriminasi warga negara berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan.

Mari kita lihat penjelasan dalam Qur’an (QS. Ali Imran/3: 113), “mereka itu tidak sama. Diantara Ahlul Kitab ada golongan yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, sedang mereka bersujud”. Disisi lain, Allah berfirman dalam surat yang sama “dan sesungguhnya di antara Ahlul Kitab ada orang yang beriman pada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan kepada mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran/3: 199).

Dalam surat yang saya cantumkan di atas, dimaksudkan orang-orang Yahudi menolak dan mengingkari risalah nabi bukan karena ajarannya, tetapi orangnya. Ajaran monotheisme Yahudi sama dengan tauhid yang dibawakan nabi. Hanya saja yang mereka tolak adalah nabi yang berasal dari bangsa Arab. Jika Yahudi mengakui ajarannya dan menolak orangnya,beda lagi dengan kaum Nasrani yang menolak ajaran nabi akan tetapi menerima orangnya. Mereka meyakini doktrin Trinitas dan menolak ajaran tauhid nabi, tetapi mereka menyambut umat Islam dengan tangan terbuka seperti Negus sang penguasa Ethiopia. Yang melindungi muhajirin generasi pertama pimpinan Ja’far ibn Abi Thalib, sepupu nabi.

Tak heran jika Qur’an sendiri memuji sikap dari kaum Nasrani yang dapat kita lihat dalam (QS. Al-Maidah/5: 82), “sungguh akan kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang musryik. Dan sungguh akan kamu dapati orang-orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata, ‘sesungguhnya kami  ini orang Nasrani.’ Yang demikian karena diantara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”

Jika kita perhatikan ayat-ayat tersebut, Qur’an mengecam Yahudi dengan kesombongannya dan merangkul Nasrani dengan persahabatannya. Kita dapati dalam realitas sosial dewasa ini dogma bahwa tidak diperkenankan kita untuk menjadikan mereka teman akrab bahkan pemimpin. Jelas bahwa Qur’an menuliskan hal ini dalam (QS. Al-Maidah/5: 51)

"Hai orang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin kamu, sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."

Ya, ayat di atas angat jelas melarang kita menjadikan non-muslim pemimpin kita, hanya saja apakah kaum tersebut menyerang atau memusuhi kita? Hingga mengusir kita dari tanah negeri kita? Atau memarjinalkan kita dari mata pencahariaan yang selama ini membantu menopang ekonomi keluarga?

Nah mari kita perhatikan ayat-ayat ini, dari (QS. Al-Anfal/8: 61), “apabila mereka condong kepada perdamaian, maka condong pulalah kepadanya dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dalam (QS. Al-Mumtahanah/60: 8-9), “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan-kawanmu orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagian kawan, maka merekalah orang-orang yang zhalim.”

Dari uraian diatas, dapat kita tilik kembali bahwa Indonesia bukan negara Islam. Tidak bisa kita memaksa hukum Islam digunakan di Indonesia, kecuali yang sudah diserap sebagai hukum positif. Melabelkan idiom kafir untuk warga Indonesia saya rasa kurang tepat. Idiom itu tidak indah digunakan di ruang publik yang mengamini kebhinekaan dan persamaan di muka umum. Penggunaan idiom kafir dengan nada permusuhan mengabaikan fakta bahwa Al-Qur’an sendiri membedakan non-muslim berdasarkan akidah dan sikap sosialnya.

Terhadap Ahlul Kitab yang bersahabat, Al-Qur’an memerintahkan umat islam berlaku adil dan condong pada perdamaian. Kerja sama dan perkawanan dengan mereka tidak dilarang, seperti nabi yang berkawan dengan Negus. Sepertinya kita harus merekonsturksi struktur pemikiran kita, saya rasa idiom kafir lebih tepat digunakan kepada siapapun tak terlepas golongan, ras, bahkan agama yang melegalkan penghisapan antar manusia dengan manusia lain atau eksploitasi alam. Jika Qur’an membedakan non-muslim berdasarkan akidah dan sifat sosialnya tetapi mereka tidak melakukan penghisapan antar manusia dengan manusia lain atau eksploitasi alam penulis rasa tidak bisa kita melebelkan diri mereka sebagai kafir. Akan tetapi, jika sebaliknya yang melakukan penghisapan antar manusia dengan manusia lainnya serta eksploitasi alam adalah umat muslim sendiri dengan mengatas namakan agama pula, disaat itu juga idiom kafir pantas disandangkan kepada mereka.

Terlihat, mereka hanya pandai berceramah menuntun untuk kita beribadah serta menolong saudara kita yang terkena musibah. See, kita diperlihatkan Aleppo sebagai fakta sosial bagaimana saudara kita di gempur dari darat maupun udara. Tetapi kita tidak pernah dipaksa untuk melihat fakta sosial tetangga kita bahkan saudara sebangsa kita. Mereka bungkam seperti kucing yang mengeong-ngeong lalu diberi makan oleh majikannya. Mereka tak suruh kita melawan musuh yang ada di hadapan kita, dengan mengatasnamakan pembangunan daerah lalu dengan mental bar-bar memaksa menggusur petani yang melindungi sawahnya.

Banyak kita lihat sikap represi aparat untuk melindungi investor, tapi dimana para petinggi umat tadi? Tertidur akibat kekenyangan karna baru saja di berimakan oleh majikan mereka? Jelas saja terlihat badan yang membengkak (gemuk). Yang digusur warga Indonesia, yang menggusur juga warga Indonesia, apakah tidak tepat jika kita melebelkan si penggusur sebagai kafir? Jika kita kembali pada penjelasan Qur’an yang sudah penulis jelaskan diatas tadi. Hal diatas tadi tidak bisa kita generalkan pada semua pemimpin umat, hanya saja kita pandai-pandai melihat arah ceramahnya. Ke kanan atau ke kiri? Penulis rasa pilih sesuai hati nurani arah kiri lebih tepat, karna jika kita dapati pada lampu lalu-lintas “belok kiri jalan terus.”


Risky Verdika W P
Mahasiswa Administrasi Perpajakan Universitas Jember


EmoticonEmoticon