Jumat, Januari 20, 2017

Membenci Pak Anies Baswedan

loading...


Demikianlah manusia . Ketika mendapati 10 kisah baik dan datang 1 cerita tak elok akan meluruhkan semuanya. Remuk redam karena merasa terkhianati.​ ​
(Duh, maafkan saya jadi menggeneralisir)

Pak Anies Baswedan. Sosok yang oleh banyak orang dielu-elukan, digadang-gadang, dipandang penuh kesucian tanpa dosa, telah sampai pada 'retak juga gadingnya'.

Jauh sebelum Konvensi Partai Demokrat, pencalonan Pak Jokowi pada Pilpres 2014, dan pencalonan dirinya sekarang, Pak Anies pada tahun 2009 telah menggagas Indonesia Mengajar. Sebuah lembaga nirlaba yang merekrut, melatih, dan mengirim generasi muda terbaik bangsa ke berbagai daerah di Indonesia untuk mengabdi sebagai Pengajar Muda di Sekolah Dasar (SD) dan masyarakat selama satu tahun.

Semasa menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang saya ketahui beliau membawa semangat perubahan yang baik (http://idsly.com/JWi). Beberapa di antaranya (1) Mencabut status UN sebagai syarat kelulusan (2) Menunda pelaksanaan kurikulum 2013 yang setengah matang untuk dievaluasi dan direvisi. Meski revisinya pun masih belum cukup bagus (3) Menguatkan peran orangtua sebagai pendidik pertama dan utama yang selama ini diabaikan negara. Dengan meluncurkan gerakan Hari Pertama Sekolah yang mensinergikan orangtua dan guru dalam mendidik anak (4) Merampingkan anggaran yang kurang efisien (http://idsly.com/FvCN).

Namun sebagai pengagum Pak Anies, saya tidak serta merta menganggap Pak Anies tanpa celah, mendewakan atau mensejajarkan dengan nabi, seorang yang suci tak memiliki  kekurangan atau kesalahan.

Salah satu yang agak mengecewakan saya ialah pelarangan MOS yang diselenggrakan oleh siswa. Karena masih banyak kok siswa/senior/kakak kelas yang memiliki integritas dan inovasi yang positif dalam menyelenggarakan MOS. Dan hemat saya, ‘terkadang’ jika diselenggarakan oleh para guru, ide-idenya kurang segar.
​​

Latar belakang larangan tersebut  untuk menghentikan praktik perpeloncoan dan kegiatan yang tidak edukatif. Namun menurut saya sebaiknya tidak serta merta menghilangkan atau melarang begitu saja. Masih bisa kan kalau kegiatan tersebut mendapat pengawasan ketat dari guru, orangtua, dan pemerintah daerah? Jika masih ada praktik tak edukatif, pengawasnya juga perlu dievaluasi.

"Ah, Wud! Sudahlah, itu semua cuma topeng! Intrik dan gimik politik! Itu semua dilakukan cuma untuk menarik perhatian belaka!"

"Kok dia mau aja sih, menjadi calon gubernur yang diusung Partai Gerindra. Padahal kan bla bla bla..."

Yang pernah saya baca dari Tempo, Pak Anies dicalonkan bukan permintaan beliau. Partai Gerindra sebelumnya mengusung Sandiaga Uno. Namun menurut pengakuan Pak Sandiaga, beliaulah yang mengajak dan menawarkan posisi calon gubernur kepada Pak Anies. Beritanya bisa Anda akses disini (http://idsly.com/tBMf1)

Hingga berita yang mencuri perhatian banyak pihak minggu ini ialah, kunjungan Pak Anies ke FPI.

“Duh Wud, dia itu pencitraan, kampanye bla bla bla... Kok mau-maunya dateng kesana!”

Saya tidak menafikkan bahwa, bisa jadi disana Pak Anies yang sedang menjadi salah satu calon Gubernur DKI Jakarta berkampanye untuk mendapatkan dukungan. Tapi jika yang juga dimaksud dalam hati Pak Anies ingin merangkul semua kalangan termasuk akar rumput (grass root) untuk meredam konflik yang sudah ataupun akan datang nantinya, bagaimana?

Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik – LIPI, Siti Zuhro, berujar demikian “Ini tidak berarti Anies melepas pandangannya sebagai moderat. Menurut saya, Anies tetap Anies, lulusan Amerika yang punya pandangan Islam modern, dia tidak serta merta menjadi FPI hanya karena datang ke FPI (http://idsly.com/BOi).

Jika benar-benar cinta, kagum, terinspirasi, menaruh harap, dan percaya kepada beliau, apakah lantas mencampakkan atau meninggalkan begitu saja? Tanpa mengharapkan dan mendoakan kebaikan untuk beliau?

Jika memang benar Pak Anies sedemikian rupa dan saya harus memilih membenci Pak Anies, saya patut merenung terlebih dahulu. Merenungkan seberapa banyak kebaikan dan kebermanfaatan yang sudah saya berikan untuk Bangsa Indonesia?

Semoga tulisan-tulisan yang merujuk pada penyesalan, kekecewaan, kekesalan kepada Pak Anies, sebagai pelecut dan pengingat beliau. Bahwa banyak orang yang menaruh harap kepada beliau. Sebagai pengingat beliau, untuk tetap teguh pada integritas.

Saya jadi teringat dengan beberapa teman diskusi.

Pertama, sebut saja ia si Ganteng. Meskipun demikian, sungguh tak serupawan aslinya. Mungkin hanya ibunya yang mengganggap demikian. Yang saya ingat darinya "Kritik juga perlu dibersamai dengan solusi". Saya sepakat dan memilih diksi yang lain namun masih serupa, yakni 'alternatif'.

Kedua, saya sering memanggilnya Gembul. Saya lebih banyak mengingat tentang dia melalui perbuatannya. Penyabar dan menggemaskan. Gemas karena 'slow response' (ini juga di-iya-kan oleh beberapa rekannya). Mungkin karena jempolnya terlalu besar dan akhirnya harus diketik pakai laptop.

Ia pernah melakukan advokasi untuk beberapa pihak yang berbeda-beda latar belakang (termasuk berbeda keilmuan). Meski pada akhirnya belum tembus, ia senantiasa memegang teguh integritas, santun, dan kecerdasan emosionalnya mengagumkan.

Ketiga, sebut saja Pèsèk. Karena memang demikian. Tidak jarang jika berbincang dengannya kata 'Jancok' menjadi awalan, imbuhan, dan akhiran. Namun ketika kami berdiskusi, kata-kata mutiara berupa 'Telek, Gatèl' dsb akan senantiasa menghiasi. Ini juga menggemaskan.

Yang saya dapati darinya ialah: dialog, diskusi, berbincang dua arah mengantarkan saya pada pemahaman yang baik. Dan tak selamanya yang terlihat di luar kurang baik, namun di dalamnya justru berkebalikan. Jauh lebih baik yang terlihat dari luar malah.

Jika dunia ini terlalu luas dan keras bagi kita, hingga sulit menemukan orang-orang baik. Maka jadilah salah satunya.

Wallahu a’lam bisshowab.​

Oleh: Dawud Kusuma Dwijayadi

Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Airlangga.

1 comments so far

https://goo.gl/LMTbV4 dalami disini


EmoticonEmoticon